Pendahuluan
Sebagai organisasi otonom (ortom) di bawah naungan persyarikatan Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) diperuntukan bagi mahasiswa, baik yang berada di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) maupun di Universitas Negri dan swasta lainnya. Sehingga, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah memiliki peran strategis dalam mengembangkan dakwah Muhammadiyah ditingkat mahasiswa. Peran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tentu saja tidak sekedar hanya menambah kaki gerak Muhammadiyah, jauh dari itu keberadaan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah untuk membangun kesadaran mahasiswa dan mengingatkan mahasiswa khususnya mahasiswa Islam akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai generasi muda Islam dan generasi muda bangsa. Artinya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai kader Muhammadiyah mengembang tanggungjawab ganda, yaitu sebagai kader ummat (generasi muda Islam) dan sebagai kader bangsa (generasi muda bangsa).
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang berdiri sejak tanggal 14 Maret 1964 di Yogyakarta, mempunyai tanggungjawab moral yaitu sebagai organisasi perkaderan dan organisasi pergerakan. Sebagai organisasi perkaderan, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tidak lepas dari tanggungjawabnya sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah dan sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah. Tanggungjawab perkaderan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sudah pasti tentu mengenai nasib baik dari kader-kader yang berada di dalamnya, mulai dari pemahaman nilai, perubahan perangai kepada yang baik, sampai proses transformasi kadernya. Sehingga, masing-masing kader memahami peran dan fungsinya sebagai kader yang senantiasa bergerak secara dinamis dan dialektis. Semua ini, hanya bisa terlihat dari tatanan perkaderan yang dilakukan. Artinya, bentuk perkaderan yang dilakukan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) akan menentukan nasib kader dan gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dimasa yang akan datang.
Disinilah bagaimana peran Instruktur dalam mewujudkan peranan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dalam melakukan perkaderan, baik secara formal maupun non formal. Alur perkaderan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) terbagi menjadi tiga tahapan yaitu pra-perkaderan, perkaderan, dan pasca perkaderan. Dimana tahap pra-perkaderan ini adalah untuk menjadi langkah awal bagi kader sebelum perkaderan utama. Pra-perkaderan ini dikenal sebagai MASTA atau MATAF (Masa Ta’aruf) yang bertujuan untuk memperkenalkan Muhammadiyah dan IMM kepada para mahasiswa. Sesuai Sistem Perkaderan Ikatan (SPI) bentuk perkaderan terdiri dari perkaderan utama, perkaderan khusus, dan perkaderan pendukung. Dimana perkaderan utama terbagi menjadi Darul Arqam Dasar (DAD), Darul Arqam Madya (DAM), dan Darul Arqam Paripurna (DAP). Sedangkan perkaderan khusus terbagi menjadi Pelatihan Instruktur Dasar (PID), Pelatihan Instrukrur Madya (PIM), dan Pelatihan Instruktur Paripurna (PIP). Dan untuk perkaderan pendukung ini dilaksanakan untuk meningkatkan potensi kader sesuai dengan minat, bakat, keterampilan, keahlian, dan kemampuan dalam rangka mendukung keberhasilan proses kaderisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Tugas atau peran instruktur tidak hanya pada saat berlangsungnya proses perkaderan utama seperti DAD, akan tetapi mulai dari pra- perkaderan hingga pasca-perkaderan.
Permasalahan
Namun dalam pelaksanaannya, proses kaderisasi di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) masih terdapat beberapa kendala atau tantangan. Salah satu isu utama yang muncul adalah kurang efektifnya transfer pengetahuan (transfer of knowledge) dan internalisasi nilai-nilai (transfer of value). Padahal kedua aspek ini sangat penting untuk memastikan setiap kader memiliki landasan intelektual yang kokoh serta pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai dasar organisasi. Jika kedua aspek tersebut tidak terlaksana dengan baik, dampaknya dapat terlihat pada melemahnya militansi kader. Militansi, yang mencerminkan dedikasi, loyalitas, dan semangat kader terhadap organisasi menjadi rentan menurun akibat kurangnya pemahaman mendalam terhadap visi, misi, serta nilai-nilai yang dianut oleh Ikatan mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Kader yang tidak mendapatkan landasan intelektual dan nilai yang memadai sering kali kehilangan arah serta motivasi untuk berkontribusi secara aktif. Sebagai organisasi yang berfokus pada pengembangan mahasiswa, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) memiliki peran penting dalam memberikan pengetahuan serta nilai yang sejalan dengan ranah gerakannya, yaitu Trilogi dan Tri Kompetensi Dasar yang menjadi dasar pembentukan kader dan pedoman dalam mencapai tujuan organisasi.
Selain itu, melemahnya militansi kader juga disebabkan oleh hilangnya rasa solidaritas dan kebersamaan antar kader. Ketika nilai-nilai organisasi tidak terinternalisasi dengan baik, ketertarikan emosional terhadap organisasi menjadi lemah, sehingga komitmen kader untuk terus aktif dalam gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menjadi berkurang. Penurunan militansi ini tidak hanya berdampak pada individu kader, tetapi juga mempengaruhi keberlangsungan organisasi dalam jangka panjang. Tanpa adanya kader yang memiliki militansi tinggi, gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) akan kehilangan kekuatan untuk berkembang dan menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu, proses revitalisasi transfer pengetahuan dan nilai menjadi upaya penting untuk memastikan militansi kader tetap terjaga, sehingga IMM dapat terus berperan sebagai wadah perjuangan mahasiswa yang solid serta mempunyai integritas. Sebagai bukti konkret
Permasalahan ini tidak hanya sebatas teori, tetapi dapat dilihat melalui berbagai contoh nyata yang terjadi di lapangan khususnya di Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Semarang baik dilingkungan PTM maupun Non-PTM adalah proses kaderisasi sering kali terhenti setelah pra- perkaderan, seperti MASTA atau MATAF (Masa Ta’aruf). Akibatnya, saat kader melanjutkan ke tahap perkaderan utama seperti Darul Arqam Dasar banyak kader kurang memiliki persiapan yang memadai untuk memahami materi yang diberikan. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam menyerap nilai-nilai dan konsep penting yang menjadi inti dari perjuangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), seperti ideologi ke-Islaman, ke-Muhammadiyahan, ke-IMMan serta wawasan kepemimpinan yang seharusnya menjadi dasar pergerakan di organisasi. Kondisi ini juga berdampak pada kurangnya rasa percaya diri kader untuk terlibat aktif dalam kegiatan organisasi ataupun untuk melanjutkan ke jenjang perkaderan selanjutnya, karena merasa tidak memiliki pemahaman yang cukup kuat. Jika dibiarkan, hal ini dapat melemahkan militansi kader yang pada akhirnya mempengaruhi dinamika dan keberlanjutan gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah secara keseluruhan.
Solusi
Oleh sebab itu, perlu adanya langkah-langkah konkret untuk menjembatani kesenjangan antara pra-perkaderan dan perkaderan utama maupun perkaderan pendukung. Salah satu solusinya adalah dengan memberikan pendampingan intensif kepada kader pasca pra-perkaderan (MASTA atau MATAF), dan pasca- perkaderan (DAD). Sehingga kader memiliki pemahaman dasar yang lebih kuat sebelum memasuki tahapan berikutnya. Selain itu, diperlukan revitalisasi metode kaderisasi untuk memastikan bahwa proses pembeka;an berjalan lebih struktur dan sesuai dengan kebutuhan kader zaman ini.
Pendampingan pasca pra-perkaderan merupakan salah satu upaya penting untuk menjamin keberlanjutan proses kaderisasi. Setelah menyelesaikan tahap MASTA atau MATAF, sering kali pemahaman kader terhadap materi yang diberikan masih belum sepenuhnya matang. Oleh karena itu, diperlukan program pendampingan yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan yang telah diperoleh selama pra perkaderan. Pendampingan ini dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, seperti mentoring terstruktur untuk membahas ideologi ke-Islaman, ke-Muhammadiyahan, diskusi kelompok dengan topik yang relevan, serta praktik yang mendorong kader untuk menerapkan nilai-nilai Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dalam keseharian mereka. Dengan pendekatan ini, pendampingan pasca pra-perkaderan menjadi langkah strategis untuk mempersiapkan kader sebelum memasuki proses perkaderan utama seperti Darul Arqam Dasar (DAD). Pendampingan pasca pra- perkaderan dapat diimplementasikan dengan memberikan kesempatan kepada kader yang memiliki keahlian di bidang tertentu untuk berbagi ilmu kepada kader lainnya. Langkah ini tidak hanya menjadi saran transfer pengetahuan, tetapi juga memberdayakan kader untuk ikut berkontribusi aktif. Dalam perspektif Kuntowijoyo, kegiatan ini mencerminkan transformasi nilai, di mana ilmu yang dimiliki kader dapat bermanfaat bagi orang lain. Sementara itu, menurut Freire, proses ini menciptakan pembelajaran dialogis yang saling memberdayakan. Dengan pendekatan ini, kader tidak hanya memahami nilai-nilai IMM, tetapi juga memperkuat rasa solidaritas dan kepercayaan diri.
Pendampingan pasca-perkaderan juga sejalan dengan konsep dalam buku Genealogi Kaum Merah, dimana kader dasar dibagi ke dalam tiga tahapan utama yaitu fase ideologi, fase keilmuan, dan fase kepemimpinan. Melalui program tindak lanjut ini merupakan langkah strategis untuk memastikan kader mampu menerapkan nilai-nilai yang telah didapat selama proses perkaderan utama, seperti Darul Arqam Dasar (DAD). Setelah menyelesaikan tahap ini, kader memerlukan arahan lanjutan agar pemahaman mereka tidak berhenti pada konsep, tetapi dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Pendekatan ini dapat diterapkan meliputi program tindak lanjut berupa mentoring secara berkala yang memperdalam ideologi IMM, pelatihan keterampilan kepemimpinan, dan diskusi interaktif yang membahas isu-isu terkini yang relevan dengan nilai-nilai organisasi. Selain itu, melibatkan kader dalam berbagai kegiatan berbasis sosial, seperti pengabdian masyarakat serta memberikan ruang bagi mereka untuk mempraktikan ilmu yang telah diperoleh.
Solusi ketiga yang dapat dilakukan adalah dengan merevitalisasi metode kaderisasi agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Langkah ini dapat dimulai dari pembuatan database kader untuk melakukan pemetaan kader, sehingga terciptanya roadmap atau peta kaderisasi dengan tidak mengesampingkan Sistem Perkaderan Ikatan. Selain itu juga bisa dilakukan dengan pendekatan interaktif dimana bisa dilakukan metode tradisional seperti ceramah dengan pendekatan seperti role play, debat dengan sistem pro dan kontra untuk melatih mental dan kekritisan kader, atau studi kasus dengan isu-isu yang sedang booming atau trend. Kemudian bisa juga dilakukan dengan kegitan berbasis kultural, dimana ini upaya ini untuk menjaga ideologi pada setiap kader untuk menumbuhkan sikap militansi atau keloyalan. Pendekatan ini merujuk kepada komisariat hadir sebagai wadah berkembangnya kader baik melalui minat, bakat, maupun akademik.
Langkah terakhir adalah dengan melakukan penguatan proses monitoring dan evaluasi di setiap tahap kaderisasi. Monitoring berfungsi untuk memastikan bahwa seluruh rangkaian kaderisasi sesuai dengan rencana, sedangkan evaluasi dilakukan untuk mengukur keberhasilan program dan mengidentifikasi aspek yang perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan sistem indikator yang spesifik untuk menilai efektivitas kaderisasi, seperti tingkat kehadiran kader, pemahaman kader, serta kemampuan kader dalam menerapkan nilai-nilai organisasi. selain itu, pengumpulan data secara berkala melalui observasi langsung, wawancara, atau survei kader dapat memberikan gambaran yang lebih akurat terkait pelaksanaan program. Hasil monitoring dan evaluasi ini tidak hanya berguna untuk menilai capaian program, tetapi juga menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun perbaikan untuk tahap kaderisasi berikutnya. Dengan adanya monitoring dan evaluasi yang terencana, maka proses kaderisasi dapat terus ditingkatkan kualitasnya agar tetap relevan dengan kebutuhan kader dan mendukung pencapaian visi organisasi.
Revitaslisasi transfer of knowledge dan value dalam proses kaderisasi menjadi langkah yang sangat penting untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Pendampingan pasca pra-perkaderan dan pasca perkaderan, pembaruan metode kaderisasi, serta penguatan sistem monitoring dan evaluasi adalah solusi konkret yang dapat menjembatani kesenjangan dalam proses kaderisasi. Melalui revitaslisasi ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dapat memastikan bahwa tranafer of knowledge tidak hanya terbatas pada penyampaian materi, tetapi juga menciptakan kader yang memahami dan menerapkan nilai-nilai Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula transfer of value dapat menjadi pondasi yang kokoh untuk membentuk kader yang tangguh, militan, dan memiliki tanggung jawab sosial. Dengan langkah-langkah ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) akan tetap relevan dan mampu mencetak kader yang tidak hanya unggul secara intelektual, akan tetapi juga menjadi agen perubahan yang membawa nilai- nilai Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ke masyarakat.
Oleh : Taufik Rohman
Leave a Reply