Rasa dan kenangan

“Ayolah nak….ini tak akan buruk, semuanya akan baik-baik saja. Kau hanya perlu berusaha sedikit lagi…”. Aku menoleh, tatapanku tiba di ujung bangunan tinggi berkaca panjang. Dibawahnya terduduk tak jauh dari bangunan itu seorang perempuan paruh baya dan seorang anak laki-laki yang kupikir dia anak dari perempuan paruh baya itu. Sebut saja ibunya. Melihat ini entah mengapa mataku tak bisa teralihkan. Tiba-tiba jantung ini berdetak  lebih kencang dari ritme sebelumnya, rasanya ingin jatuh dan melompat keluar, tiba-tiba pun mataku berkabut, aku bisa melihat air mataku menggenang di pelupuk mata. Aku hanya bisa terpaku. Ini tidak mengenakan, perasaan apa ini?. “Kamu baik-baik saja?” Lamunanku buyar seketika. Tapi, sesak didada masih belum pergi. Terasa seseorang menepuk pundak ku, rasanya tak hanya sekali. Tapi, apakah ini nyata? Ini memang bukan suara seseorang yang aku harapkan kembali kehidupannya, bukan juga sentuhan seseorang yang sedang aku rindukan di dimensi 10 tahun silam. Waktu yang lama, kata orang-orang. Aku merasa suara itu, oh, bukan. Lebih tepatnya, kalimat itu, hanya berasal dari imajinasiku saja, tanpa mau bertaruh apakah ini imajinasi atau nyata adanya. Jadi diam adalah cara terbaik untuk melanjutkan imajinasiku yang indah ini bukan?  “Hey! Apakah kamu mendengar ku?!” Oktaf suaranya meningkat, tepukannya lebih terasa panas. Aku refleks menoleh. Di depanku terwujud si pemilik suara tadi. Aku menghela nafas. Dia Oliv, temanku.

“Kamu baik-baik saja?” Untuk saat ini, pertanyaan darinya adalah pertanyaan sulit yang entah bagaimana aku harus menjawabnya. Matanya mengikuti arah pandang ku. Dan tak tahu kenapa Oliv pun menghela nafas panjang, aku tak tahu apa yang dipikirkannya. “Kamu tahu…” Oliv membuka percakapan. “Dia juga merindukan rumahnya” lanjutnya. Aku menoleh. “Na, kenangan akan selalu jadi kenangan. Dan kerinduan itu sendiri lah sebagai bumbunya” Dia berjalan menuju rerumputan di depan lapangan fakultas, dan mendudukkan dirinya di sana. Aku mengikutinya dibelakang, tertarik dengan apa yang akan dibicarakannya kali ini setelah kemarin dia berbicara tentang filosofi teras kehidupan.                                                             “Kamu hanya perlu menakar bumbu itu dengan pas” dia tetap memandang ke depan. “Maksud mu?” Aku mengerutkan kening, belum mengerti arah pembicaraan mana yang akan dipilihnya. “Na, kamu tau kan setiap orang pasti memiliki kenangan? entah kenangan baik atau sebaliknya, atau bahkan hanya sekejap kenangan yang biasa saja. Nah, bumbu kenangan itu sendiri adalah kerinduan. Kamu bisa memilih untuk merindukan kenangan itu dengan takaran biasa, sedang atau luar biasa” “Lalu?” Aku menatapnya. “ketika kita merindukan sosok yang sangat berarti itu wajar, semua orang mungkin akan seperti itu, tapi pilihannya adalah merindukan kenangan itu dan tetap melanjutkan realita kehidupan atau kamu akan memilih merindukan kenangan itu, namun, kamu akan terus berada disana. Artinya dirimu terjebak di rasa yang kamu bumbui sendiri. Dan pasti akan kesulitan jika berada dalam keadaan seperti itu.” Dia menaik turunkan alisnya.

Oh kata-katanya…seperti yang dia bilang, kehidupan ini saling berkaitan satu sama lainnya. Bagaimana pun yang terjadi, pasti ada alasan dan pilihan yang tepat. Aku mengangguk cepat, mengerti apa yang sebenarnya ingin disampaikan kepadaku.

“Tapi ini terlalu menyakitkan” aku menatap ke atas, sekelebat awan-awan itu saling menyatu membentuk sosok berarti di dimensi ku 10 tahun lalu. Ini perih…. “Betul. Memang betul menyakitkan. Rasanya sesak, perih tapi kita sendiri bahkan tak bisa menentukan taqdir untuk diri sendiri. Tapi..”.   Dia menatap ujung sepatunya “bukankah lebih menyakitkan jika kenangan itu menakar bumbunya sendiri? Padahal kitalah yang harus menakarnya sendiri. Sampai-sampai kita harus memperbaiki ulang semuanya agar menjadi rasa yang pas untuk dikenang”. Aku melihatnya mengusap ujung matanya. “Dan ini tidak mudah, ketika kita dipaksa oleh keadaan untuk terus melangkah”. Beberapa saat yang terdengar hanyalah suara deru nafas Kita masing-masing. Sampai tibai Kita kompak bangkit dari rerumputan setelah melihat Dosen jaga pagi ini telah tiba dipintu gerbang dengan motor Scoopy kesayangannya. Mataku dan Oliv bertemu, sesuatu yang terikat antara kita. Seketika sendu yang tadi melekat bisa bersatu dengan nada tawa yang indah. Tentunya setelah kita mengingat pagi ini ada tugas yang belum terselesaikan dari Dosen tadi.

Sendu dan tawa bukanlah persatuan yang pas, tapi sendu dan tawa adalah tentang bagaimana 2 kekuatan mencoba saling mendekat dan mendekap tanpa mengurangi kekuatannya masing-masing. Dan ini bukan lah suatu yang sangat mudah.

sajak yang tertinggal

“Ayah?” Aku mencoba memanggilnya,  kembali bertanya tentang bagaimana perasaan ayah setelah ditinggal ibu. Ayah tak menjawab. Aku kira, setelah ayah melipat korannya akan ada perbincangan hangat dan nyaman. Tapi ternyata tidak. Kembali lagi seperti dulu, harapan yang seperti ini memang tak akan pernah ada. Ayah, kita sama-sama merasakan kehilangan, tapi ini akan terasa lebih menyakitkan ketika semua berubah menjadi abu-abu. Aku dan dunia ku dan ayah dengan dunianya.

Pembicaraan ringan dengan Oliv

“Olivv!” Akhirnya Manusi satu ini yang dari tadi dicari ketemu. Si manusia misterius yang kalau bicara diluar nalar dan tiba-tiba. “Kau tahu Na? hidup ini berkamuflase. Berputar agar semuanya merasakan dan saling mengerti. Akan  ada peristiwa apapun yang menimpa kita. Namanya takdir. Tinggal bagaimana kita menyikapi semuanya. Percayalah Na, ketika Yang Maha Kuasa memberikan ujian hidup kepada kita, itulah tanda sayang-Nya pada kita, tanda kita dipercayai untuk menanggung ujian yang diberikan-Nya”. Ucapnya. Disaat tak ingin lagi ada yang ditangisi, sekarang ini bahkan aku mendengar isak tangisku lagi. Kalimat yang diucapkan singkat tapi aku tahu pembicaraan ini akan dibawa kemana.

“Bumbu kerinduan tak hanya menakar rasa yang pas untuk kenangan. Tapi, semakin berjalannya waktu, bumbu kerinduan adalah sesuatu hal istimewa untuk menakar rasa kehidupan juga. Meskipun tak mudah, pada suatu sisi pun semua orang tentu akan terus berusaha agar kehidupannya tidak pahit dan tidak terlalu manis untuk sebuah dunia. Kita hanya perlu menjalaninya dengan sabar dan selalu konsisten dengan rasa itu sendiri” ucapnya. “Na, bukan berarti rapuh tidak boleh. Boleh rapuh, akan tetapi jangan lupa ketika kita  kembali lagi, datanglah bersama kekuatan baru”.

Aku mengingat kembali percakapan ku dengan Oliv 2 pekan yang lalu. Aku mengerti sekarang. Ya, aku mengerti. Bagaimana pun juga aku tak bisa melupakan kejadian sore hari pada dua pekan yang lalu bersama ayah. Dan di senja kemarin pula dimana semua dimensi tertutup setelah ayah pergi ke kebun, dan ayah tak kembali setelah pagi harinya mengemasi semua barang miliknya. Dan salam terakhirnya pun sampai terlupakan untuk sebatang kara dibalik jendela buram, menatapnya dalam diam dan sunyi yang sangat dalam untuk didengarkan.

Oleh : Naimatul husna